Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Sabtu, 12 Maret 2016

Pendidikan Karakter

BAB I
PENDAHULUAN
 
A. Latar Belakang Masalah

Usia dini utamanya di Taman Kanak-kanak merupakan usia yang efektif untuk mengembangkan berbagai potensi dan kepribadian yang dimiliki oleh anak. Upaya pengembangan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara termasuk melalaui pendidikan karakter dalam pembelajaran. Kegiatan ini tidak hanya terkait dengan kemampuan kognitif saja tetapi juga kesiapan mental, sosial dan emosional. Oleh karena itu dalam pelaksanaanya harus dilakukan secara menarik, bervariasi dan menyenangkan.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pendidikan kita masih belum berhasil mencetak manusia yang memiliki kepribadian positif. Hampir di setiap waktu di media massa, baik media elektronik maupun media cetak, masih banyak memberitakan informasi yang menggambarkan keadaan bangsa ini semakin terpuruk. Kriminalitas, kemiskinan, pemerkosaan, pembunuhan dan lain sebagainya menghiasi layar televise hamper setiap waktu.

Kasus-kasus tersebut adalah salah satu bukti konkrit bahwa pendidikan kita sampai saat ini masih belum maksimal dalam membina generasi bangsa. Dengan hadirnya pendidikan karakter kita memiliki harapan untuk membentuk genarasi bangasa yang lebih baik dibandingkan sebelumnya. Salah satu benih lahirnya pendidikan karakter terdapat dalam UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab”.

Penerapan pendidikan karakter pada anak usia dini dapat dituangkan dalam program harian, yaitu tentang kepribadian anak, kemandirian, kedisiplinan, dan tanggung jawab sehingga anak siap mengikuti pada jenjang pendidikan selanjutnya dan masa dewasanya.

Taman Kanak-kanak merupakan pendidikan bagi anak usia dini yang berada pada jalur formal yang tentunya harus mampu mempertahankan citra dan kwalitas pembelajaran sehingga masyarakat tetap mengakui mutu dan proses belajar mengajar yang dilaksanakan. Salah satunya yaitu menyiapkan anak didik yang berkarakter.

Dengan ditulisnya makalah ini maka diharapkan dapat membantu para pendidik dalam menerapkan pendidikan karakter pada penyusunan perencanaan pembelajaran sehingga pembelajaran lebih terarah, efektif dan efisien dalam mencapai tujuan yang ditetapkan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pendidikan ?
2. Apa pengertian karakter ?
3. Apa pengertian pendidikan karakter ?
4. Bagaimana urgensi pendidikan karakter ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian pendidikan
2. Untuk mengetahui pengertian karakter
3. Untuk mengetahui pengertian pendidikan karakter
4. Untuk mengetahui urgensi pendidikan karakter
D. Manfaat Penulisan
1. Agar mahasiswa dan calon pendidik mengetahui pengertian pendidikan
2. Agar mahasiswa dan calon pendidik mengetahui pengertian karakter
3. Agar mahasiswa dan calon pendidik mengetahui pengertian pendidikan karakter
4. Agar mahasiswa dan calon pendidik mengetahui urgensi pendidikan karakter

BAB II
PEMBAHASAN
 
A. Pengertian Pendidikan

Pendidikan berasal dari kata “didik” yang memiliki banyak arti, di antaranya pelihara, bina, dan latih. Katika ditambahkan imbuhan “pe-kan”, artinya menjadi proses atau tindakan dalam mendidik atau melatih.

Menurut Prof. H. Mahmud Yunus yang dimaksud pendidikan ialah suatu usaha yang dengan sengaja dipilih untuk mempengaruhi dan membantu anak yang bertujuan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan, jasmani dan akhlak sehingga secara perlahan bisa mengantarkan anak kepada tujuan dan cita-citanya yang paling tinggi. Agar memperoleh kehidupan yang bahagia dan apa yang dilakukanya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, negara dan agamanya.

Menurut Prof. Dr. John Dewey pendidikan merupakan suatu proses pengalaman. Karena kehidupan merupakan pertumbuhan, maka pendidikan berarti membantu pertumbuhan batin manusia tanpa dibatasi oleh usia. Proses pertumbuhan adalah proses penyesuaian pada setiap fase dan menambah kecakapan dalam perkembangan seseorang melalui pendidikan.

Menurut Prof. Herman H. Horn pendidikan adalah suatu proses dari penyesuaian lebih tinggi bagi makhluk yang telah berkembang secara fisik dan mental yang bebas dan sadar kepada Tuhan seperti termanifestasikan dalam alam sekitar, intelektual, emosional dan kemauan dari manusia.

Menurut Driyarkara pendidikan diartikan sebagai suatu upaya dalam memanusiakan manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf yang insani.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pendidikan yaitu sebuah proses pembelajaran bagi setiap individu untuk mencapai pengetahuan dan pemahaman yang lebih tinggi mengenai obyek tertentu dan spesifik. Pengetahuan yang diperoleh secara formal tersebut berakibat pada setiap individu yaitu memiliki pola pikir, perilaku dan akhlak yang sesuai dengan pendidikan yang diperolehnya

Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah suatu tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Maksudnya ialah bahwa pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada peserta didik agar manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembagkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Secara bahasa, pendidikan adalah proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok melalui upaya pengajaran dan pelatihan”.

Dari berbagai pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah suatu proses dalam membina, melatih, memelihara anak atau siapa pun sehingga menjadi manusia yang santun, cerdas, kreatif, berguna bagi diri, keluarga, masyarakat dan bangsa.
B. Pengertian Karakter

Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein yang berarti mengukir. Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Dari sini kemudian berkembang pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku. Doni Koesoema A (2007:80) memahami bahwa karakter adalah sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik yang bersifat khas dari seseorang yang bersumber dari hasil bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan. Menurut Pusat Bahasa Depdiknas, pengertian karakter adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, dan watak.

Dalam buku Pendidikan Karakter Berbasis Dongeng karya Hendri Juhana S.Th.I, karakter merupakan suatu kualitas positif yang dimiliki seseorang sehingga membuatnya menari dan atraktif. Karakter berasal dari bahasa latin kharakter, kharassein, dan kharax yang bermakna tool for making, to engrave. Kata ini mulai banyak digunakan (kembali) dalam bahasa Prancis, caractere, pada abad ke 14, dan kemudian dalam bahasa Inggris menjadi character sebelum akhirnya menjadi bahasa Indonesia karakter. Dalam pengertian lain, karakter diartikan sebagai tabiat, watak, sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.

Jadi bisa disimpulkan bahwa karakter itu erat kaitannya dengan personality. Seseorang bisa dikatakan berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, lingkungan, bangsa dan negara, serta dunia internasional pada umunya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaanya). Karakter itu lebih bersifat spontanitas maksudnya dalam bersikap atau melakukan perbuatan telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu difikirkan lagi.
C. Pengertian Pendidikan Karakter

Dalam buku Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Prof. Dr. Muchlas Samani beserta Drs. Hariyanto, M.S. menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah upaya sadar dan sungguh-sungguh dari seorang guru untuk mengajarkan nilai-nilai kepada siswanya. Lebih lanjut, Muchlas dan Hariyanto menjelaskan bahwa pendidikan karakter merupakan suatu upaya pro aktif yang dilakukan, baik oleh sekolah maupun pemerintah, untuk membantu iswa mengembangkan inti pokok dari nilai-nilai etik dan nilai-nilai kinerja, seperti kepedulian, kejujuran, kerajinan, keadilan (fairness), keuletan, ketabahn (fortitude), tanggung jawab, menghargai diri sendiri serta orang lain (Samani dan Hariyanto, 2012 : 43).

Dapat disimpulkan bahwa Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter ini berkutat pada empat hal yaitu ol ah hati, olah pikir, olah rasa dan olah raga. Olah hati yang dimaksud adalah berkata, bersikap, dan berperilaku jujur. Olah pikir artinya cerdas yang selalu merasa membutuhkan pengetahuan. Olah rasa artinya memilki cita-cita. Sedang olah raga artinya enjaga kesehatan di tengah-tengah menggapai cita-cita tersebut.

Pendidikan karakter membawa misi kearah pendidikan yang bermartabat, membuka cakrawala dan potensi manusia yang lebih progresif, aktif, dinamis, serta memaksimalkan nilai-nilai luhur yang sudah terpatri sebagai potensi dasar di dalam diri manusia. Potensi-pottensi yang sudah ada di dalam diri manusia kembali di asah dan dikembangkan secara maksimal sehingga akan menjadikan manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Potensi-potensi itu antara lain, potensi pikir, hati, rasa dan karsa, serta fisik (raga).

Gabungan ke empata potensi yang dimiliki oleh manusia itu akan menjadi nilai-nilai luhur dan perilaku berkarakter. Nilai-nilai luhur inilah yang menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk yang lain. Manusia yang berkarakter adalah manusia yang memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan rasa, kecerdasan dan kekuatan fisik serta kemampuan mengaktualisasikan diri.

Semua kemampuan dan berbagai potensi tersebut harus diolah agar manusia mampu memaksimalkan dirinya dan menjadi khalifah di bumi. Mengolah potensi pikir disebut olah pikir (intellectual development). Mengolah potensi hati disebut olah hati (spiritual and emotional development). Mengolah potensi olah rasa dan karsa (affective and creativity development). Mengolah potensi fisik (raga) disebut olah raga dan kinestetik (psysical and kinesthetic development).
D. Urgensi Pendidikan Karakter

Menurut Prof . Suyanto Ph.D karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.

Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.

Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.

Pendidikan yang bertujuan melahirkan insan cerdas dan berkarakter kuat itu, juga pernah dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni; intelligence plus character… that is the goal of true education (kecerdasan yang berkarakter… adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).

Memahami Pendidikan Karakter Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.

Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.

Terdapat sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universal, yaitu: pertama, karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya; kedua, kemandirian dan tanggungjawab; ketiga, kejujuran/amanah, diplomatis; keempat, hormat dan santun; kelima, dermawan, suka tolong-menolong dan gotong royong/kerjasama; keenam, percaya diri dan pekerja keras; ketujuh, kepemimpinan dan keadilan; kedelapan, baik dan rendah hati, dan; kesembilan, karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.

Kesembilan pilar karakter itu, diajarkan secara sistematis dalam model pendidikan holistik menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan, maka acting the good itu berubah menjadi kebiasaan.

Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.

Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.

Terdapat dampak pendidikan karakter yang bermunculan berdasarkan penemuan penting mengenai pendidikan karakter yang diterbitkan oleh sebuah buletin, Character Educator, yang diterbitkan oleh Character Education Partnership.

Dalam buletin tersebut diuraikan bahwa hasil studi Dr. Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat menghambat keberhasilan akademik.

Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins,et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi.

Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.

Beberapa negara yang telah menerapkan pendidikan karakter sejak pendidikan dasar di antaranya adalah; Amerika Serikat, Jepang, Cina, dan Korea. Hasil penelitian di negara-negara ini menyatakan bahwa implementasi pendidikan karakter yang tersusun secara sistematis berdampak positif pada pencapaian akademis.

Seiring sosialisasi tentang relevansi pendidikan karakter ini, semoga dalam waktu dekat tiap sekolah bisa segera menerapkannya, agar nantinya lahir generasi bangsa yang selain cerdas juga berkarakter sesuai nilai-nilai luhur bangsa dan agama. 

BAB III
PENUTUP
 
A. Kesimpulan

Pendidikan adalah suatu proses dalam membina, melatih, memelihara anak atau siapa pun sehingga menjadi manusia yang santun, cerdas, kreatif, berguna bagi diri, keluarga, masyarakat dan bangsa.

Karakter itu erat kaitannya dengan personality. Seseorang bisa dikatakan berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai dengan kaidah moral. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, lingkungan, bangsa dan negara, serta dunia internasional pada umunya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaanya).

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter ini berkutat pada empat hal yaitu olah hati, olah pikir, olah rasa dan olah raga. Olah hati yang dimaksud adalah berkata, bersikap, dan berperilaku jujur. Olah pikir artinya cerdas yang selalu merasa membutuhkan pengetahuan. Olah rasa artinya memilki cita-cita. Sedang olah raga artinya menjaga kesehatan di tengah-tengah menggapai cita-cita tersebut.

Dasar pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
B. Saran

Kepada mahasiswa, calon pendidik dan pendidik agar mengetahui dan memahami pendidikan karakter sebagai penunjang harmonisan manyarakat, maka sejak dini hendaknya ditanamkan pendidikan karakter, bukan hanya disekolah, namun juga di lingkungan keluarga dan sekolah. Jadi penting sekali kerjasama antara pihak-pihak tersbut demi suksesnya kepribadian anak-anak bangsa yang baik. 

DAFTAR PUSTAKA
 
Juhana, Hendri (2013). Pendidikan Karakter Berbasis Dongeng. Bandung : Simbiosa Rekatama Media
Samani, Muchlas, dan Hariyanto (2011). Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung : Remaja Rosdakarya
Soenarko, Bambang (2010). Konsep pendidikan karakter. Kediri: Universitas Nusantara
Raihan, Rini (2012). Pendidikan Karakter Anak Usia Dini. Tersedia : https://riniraihan.wordpress.com/2012/09/30/pendidikan-karakter-anak-usia-dini/












































0 komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.